A Refugee Spirituality - Refleksi atas James K. A. Smith

Best Regards, Live Through This, 05 May 2023
The Christian isn’t just a pilgrim but a refugee, a migrant in search of refuge. The Christian life isn’t just a pilgrimage but a journey of emigration.

Perjalanan iman secara umum dipahami sebagai proses seseorang menjalani iman yang diyakininya tentang dirinya, dunia dan realitas tertinggi. Refuge atau pengungsi atau migran – (orang-orang yang mencari tempat pengungsian), mereka mencari rumah yang baru. Di dalam mencari rumah baru, mereka berpindah-pindah ke tempat-tempat asing. Mengapa hidup ini adalah sebuah refuge


Photo by ModernReformation

Mari kita mulai dari keadaan setiap manusia. Smith menjelaskan kalau semua manusia ada di dunia ini dengan kekosongan, kehampaan, penderitaan, anxiety, insecure, dan ketidakadilan (kita sebut saja alienasi). Seperti kata Pengkhotbah, kalau punya ilmu – kita juga menderita kayak orang bodoh, kalau mengumpulkan uang – uang bisa hilang dkk. Ada orang ada keputusasaan di sana. 

Maka – Camus seorang filsuf dan sastrawan menggambarkan kehidupan manusia sebagai mitos Sisiphus. Singkatnya, Sisiphus adalah seorang yang dihukum oleh para dewa. Hukumannya ialah, dia harus mendorong batu besar ke atas bukit, tapi saat dia sampai ke puncak – dia dikutuk untuk mengulanginya lagi. Dia menderita hukuman yang memuakkan dan membawa putus asa. Lalu, Camus menejlaskan bahwa kalau Sisiphus bisa bahagia jika dia menikmati keputusasaannya dan kemuakannya.

Begitulah kira-kira cara Camus menikmati hidup, yaitu terima hidup apa adanya – tidak perlu mengharapkan yang tinggi-tinggi, nanti kecewa – nikmatilah keputusasaan. Ini bisa memberi kita rasa tidak sakit. Coba bayangkan, jika hidup kita adalah pengungsian. Maka, keadaan alienasi itu digambarkan orang yang tak memiliki rumah, dia mencari pengungsian ke negeri lain. Terus, itu berarti, ajaran Camus semacam mengatakan, “Ya, tidak apa-apa, tidak ada rumah, kita memang pengembara – road is our home.”


Photo by English First

Beratus-ratus tahun sebelumnya, Agustinus mengungkapkan sama seperti Camus bahwa memang hidup itu alienasi, hati setiap manusia itu gelisah atau restless. Lalu, rasa restless itu hanya bisa tenang dan dipuaskan di dalam Allah yang menciptakan manusia. “You have made us for yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in you.” Di situ, manusia adalah pengungsi dan rumah sejati yang baru bagi mereka adalah di dalam Allah Tritunggalyang disebut Negeri Sukacita—Sang Pembebas dari alienasi, yang memberikan masa depan keadilan dan ketenangan. Selama ini, manusia sebagai pengungsi tidak punya kompas untuk ke sana. Namun, ketika manusia “bertobat”dicelikkan matanya oleh Roh Kudus dengan kuasa kebangkitan Kristusmelalui pemberitaan Kitab Suci dan komunitas gereja sebagai utusan-utusan Kristus, dirinya disadarkan bahwa ada kompas yang mengarahkannya kepada Allah. Tapi, belum sampai, namun tetap bersama Roh Kudus untuk ke sana. Maka, kehidupan Kristen itu seperti refugee bersama Roh Kudus dalam Kristus untuk menuju ke Allah dan yang Allah janjikan. Namun, dia  pasti ke sana.

Jika demikian, hidup kita selalu “di tengah-tengah” – in between karena kita seperti orang berjalan menuju negeri.  Di tengah, penderitaan dan sukacita yang menanti, di dalam kesalahan dan kebenaran, kondisi ketidakadilan dan kondisi keadilan. Di jalan-jalan itu, kita juga melewati semacam negeri-negeri yang lain, pangkalan-pangkalan, motel-motel yang diberikan Allah sebagai tempat-tempat kita merasakan ketenangan dan merujuk ke Negeri itu, tetapi tetap itu bukanlah Negeri tersebut. Keberadaan mereka bisa kita rasakan melalui orang-orang baik yang dikirimkan Tuhan, aliran-aliran teologi yang membantu kita kenal Dia, gerakan-gerakan yang membuat kita paham keadilan-Nya, tetapi mereka bukanlah Allah itu sendiri.


Photo by Christianity

Lalu, apa hubungannya dengan kita?

Pertama, kita ini hidup dalam situasi in-between (atau already but not yet). Jangan naif bahwa ketika terima Yesus, maka hati kita langsung bersukacita tiap saat. Oh, tidaklah demikian. Memang benar kita dianugerahi kompas menuju ke sana, tetapi kita masih bisa insecure, galau, anxiety, stress, berdosa, dan sebagainya. Namun, yang membedakan adalah sekarang kita punya harapan yang menghibur bahwa kita akan sampai di Negeri itu.

Kedua, mari kita hargai setiap hal baik di hidup ini yang menuntun kita ke Negeri itu. Hal-hal baik ini nyata dalam diri teman, orangtua, gereja, aliran teologi, gerakan, model-model pembangunan kerohanian, dan sebagainya. Keberadaan mereka pun adalah atas izin Allah Tritunggal yang perlu kita syukuri.

Ketiga, aliran teologi, gerakan-gerakan, model-model pembangunan kerohanian itu bukanlah Negeri itu sendiri. Meskipun Allah mengizinkannya ada, tetapi toh semuanya adalah buatan atau pengajaran manusia yang selalu ada kurangnya. Kita perlu mengingatkan diri agar tidak mengglorifikasi suatu aliran teologi. Misalnya, kita tetap bersedia belajar untuk terbuka pada berbagai pandangan tanpa meninggalkan prinsip pengajaran yang benar—tentunya berdasarkan Firman Tuhan dan penafsiran yang tepat.

Akhir kata, mari bersama-sama berjalan ke Negeri itu. Setiap pengungsi pasti bertemu pengungsi yang lain di jalan, dan karenanya mari kita saling mendukung sesama pengungsi.


Sumber:

  1. Smith, James K. A. On The Road With Saint Augustine: A Real World Spirituality of The Restless Hearts. Michigan: Brazor Publishers, 2019.
LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

TAGS

 

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER