Allah itu tetap sama dan kekal. Hakikat dan sifat-Nya itu tetap sama, yaitu kasih. Mungkin... kitalah yang tidak memiliki pemahaman mengenai konsep hukum itu sendiri.
Baca bagian sebelumnya di sini.
Refleksi malam Natal lalu menyadarkanku pada satu hal:
Iya, aku tidak layak untuk dikasihi oleh si cowok itu. Aku tidak cantik. Aku tidak tinggi. Aku tidak pintar matematika. Aku tidak kaya. Udah gitu, gengsinya besar lagi. Iya, gengsiku sangat tinggi. Jadi, aku pernah meniatkan untuk memberi kado ulang tahun padanya melalui kurir online hanya karena takut di-cie-cie-in sama temen-temennya. Selain itu, aku takut kalau dia tidak suka kadoku dan membantingnya di depan mukaku. Akhirnya, aku berdoa, "Tuhan, kiranya Engkau berkenan untuk menyelamatkan hubunganku. Aku pengen ngasih kado ini."
Keesokan harinya, aku baca satu ayat Alkitab yang muncul di widget smartphone-ku, yaitu Yesaya 41:10 yang mengingatkan bahwa aku tidak perlu takut sebab Allah yang menyertaiku.
Tiba-tiba, muncullah keberanianku untuk bawa kado itu ke kantor. Tapi, meskipun aku ada keberanian bawa kado itu, tetap saja aku tidak berani nyamper dia ke ruangannya. Aku juga tidak tahu kenapa aku setakut itu. Dari rasa ketakutanku, aku kembali berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, selamatkanlah hubunganku. Aku mohon."
Pada periode yang sama, aku sering sekali membaca dan ke-trigger dengan dua ayat alkitab, yaitu:
Setelah aku membaca firman Tuhan itu, aku baru sadar bahwa selain tidak layak bagi Tuhan karena bukan tergolong perempuan yang masuk kategori perempuan sempurna di dalam parameter masyarakat, ternyata aku juga seorang perempuan yang penakut dan tidak taat. Namun, apakah ini berarti Tuhan benar-benar tidak mengasihiku? Apakah tidak ada harapan bagiku untuk mendapatkan kasih yang tulus dari Tuhan di dalam kehidupanku?
Photo by Caleb Woods on Unsplash
Aku yakin Tuhan yang sama juga sangat mengenal Ignite People secara pribadi. Lantas, siapakah Dia yang mengenal kita itu? Darimana cara kita mengenal-Nya?
Pada dasarnya, kita semua mengenal Allah dari Alkitab. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya memahami dogma-dogma Kristen, ada satu hal yang perlu kita ketahui dan imani tentang Allah yang kita kenal melalui Tuhan Yesus: yaitu Dia tidak berubah sampai selama-lamanya, baik dalam Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB). Berikut beberapa contohnya:
Disadari atau tidak, kadang-kadang kita sendiri merasa Allah yang di PL dan di PB itu "berbeda". Allah di Perjanjian Lama terkesan "kejam" dengan kisah-kisah yang melibatkan hukum taurat-Nya yang penuh kekerasan bahkan hukuman mati seketika. Sebaliknya, Allah—di dalam diri Yesus Kristus—di Perjanjian Baru justru terasa sebaliknya: baik banget, penuh kasih, menggenapi hukum Taurat, bahkan membiarkan diri-Nya dianiaya. Lah, jadi ini Allah yang di PL dan PB beneran sama atau enggak?
Memang, aku bukan lulusan teologi yang memahami dogma-dogma Kristen. Namun, aku masih dapat bekerja keras bagai kuda untuk merenungkan hukum Tuhan dengan menggunakan dogma hukum. Aku juga tidak tahu entah ada faedahnya atau tidak perenungan ini. Aku juga gak tau sih, salah atau bener perenungan ini. So, CMIIW (kesempatan untuk tulis artikel respons selalu terbuka, ya - Minbi).
Sebenarnya, hal yang perlu kita ketahui bahwa Hukum Taurat bukan sekedar Hukum Agama, tetapi juga Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Militer, Hukum Internasional, Hukum Adat, dan hukum-hukum lainnya sebagai pembatas dan pengakuan atas Hak Asasi Manusia. Nah, bedanya, Hukum Kasih itu dasar hukum (konstitusi) dari Hukum Taurat itu sendiri. Sebab Kristus berkata pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum taurat dan kitab para nabi (Matius 22:37-40). Namun, dalam memahami hukum kasih sebagai dasar dari hukum taurat yang penuh perajaman, maka kita perlu renungkan Hukum Taurat dari perspektif Hukum Pidana untuk mengetahui alasan pembenaran dari suatu pemidanaan atas perbuatan jahat:
Photo by Tingey Injury Law Firm on Unsplash
Situasi ketika Allah mengajak korban dan pelaku untuk partisipatif menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan ini disebut restorative justice dengan mengedepankan keseimbangan kepentingan, yaitu kepentingan Allah akan belas kasihan, kepentingan korban atas pengampunan, kepentingan pelaku atas pertobatan (daad-dader strafrecht) dengan tujuan untuk mengatasi kejahatan di masa depan. Namun, jika restorative justice ini tidak berhasil, maka permasalahan kejahatan kembali diselesaikan pada penghakiman terakhir (Yehezkiel 35:5-6). Pengampunan dari korban dan pertobatan dari pelaku adalah alternatif penyelesaian kejahatan dari Tuhan dengan mengenyampingkan pemidanaan itu sendiri. Dalam hukum pidana, aliran pembenaran pemidanaan ini ada dalam mazhab Neo Klasik. Dengan demikian, Allah benar-benar terbukti tidak berubah, hanya hukum-Nya saja yang berkembang sesuai perkembangan budi manusia sebagaimana dimaksud dalam adagium bahwa hukum akan selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Oh, dan kalau dihubungkan dengan kesan Allah-yang-di-PL-dan-PB-berbeda, itu tidak terlepas dari inkarnasi Yesus Kristus. Ya, Yesus menjadi perantara dalam mendamaikan manusia yang berdosa dengan Allah yang kudus (Yohanes 1:1-18). Dalam filosofi Yahudi, nama Yesus berarti "Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka" (Matius 1:21). Seharusnya, pemaknaan nama Yesus tersebut tidak dapat dipisahkan dari nubuat Yesaya tentang TUHAN menyelamatkan Israel dari dosanya (Yesaya 52).
Dari sekian banyak nama Yesus yang ada di Israel pada zaman 1 M, kenapa hanya Yesus yang lahir dari Marialah yang benar-benar menggenapi Yesaya 52? Soalnya, kan, emang cuma TUHAN yang dapat menyelamatkan, kan? Lagian, Yesus inilah Sang Firman Allah itu!
Dalam perenunganku—meski aku tidak berwenang untuk merenungkan ini (tapi, ya, CMIIW)— ada beberapa hal yang membuatku sadar bahwa Yesus yang lahir dari Maria lah yang merupakan Firman Allah dan yang menggenapi Yesaya 52, yaitu:
Aku mencoba merenungkannya dengan bantuan pengertian frasa "menyertai" dan "menyelamatkan" dalam KBBI, yaitu:
Pengertian Menyertai
Pengertian Menyelamatkan
Dari dua frasa tersebut, ada satu frasa yang sama-sama menjadi arti dari frasa “menyertai” dan “menyelamatkan”, yaitu menolong. Dengan demikian, kita dapat menghayati makna nama Yesus dan Imanuel dalam Satu Pribadi Firman Allah yang menjadi daging adalah pertolongan-Nya, baik menolong dari dosa supaya selamat, maupun ikut serta kehidupan manusia agar dapat menolong-Nya setiap hari.
Nah, sekarang, bagaimana cara kita dapat merasa bahwa Allah menolong kita, meski Dia tidak kelihatan?
Ya, Tuhan adalah penolongku. Bahkan, Tuhan dapat memakai siapa saja untuk menolong kita.
Trus, apa hubungannya sama ceritamu yang sebelumnya, Yes?
Ah, iya. Akhirnya, saat itu Tuhan memakai rekan kantorku—seorang non Kristen—untuk menolongku dengan menemaniku mengantarkan kado ulang tahun cowo yang kutaksir itu. Aku menantikan pertolongan itu selama tiga bulan. Aku takut sekali kalau kadoku dibanting. Nyatanya, dia menerima kadoku dengan sangat baik. Menurutku, pertolongan dari temanku merupakan suatu mukjizat Tuhan karena pertolongan Tuhanlah aku—yang tadinya takut memberikan kado ke cowok itu—menjadi berani mengantarkan kado padanya. Meskipun demikian, aku masih di-block sama dia. Berbeda dari sebelumnya, Tuhan mengajarku untuk punya cara pandang yang lain: aku masih punya sukacita lain yang menantiku. Sambil aku menanti Tuhan bekerja, aku pun tidak tinggal diam. Aku ikut konseling psikolog untuk yang kedua kalinya untuk mendeteksi red flag dalam berelasi, karena mungkin dia nge-block aku karena gak tahan dengan red flag yang aku kibarkan. Plus, aku tetap berdoa baginya sekalipun sampai hari ini hubungan kami belum ada perkembangan lebih jauh.
Aku yakin dan percaya, Tuhan adalah penolong kita semua di dalam kekhawatiran dan keputusasaan kita akan ketidakpastian masa depan. Kiranya pertolongan Tuhan kita, Yesus Kristus selalu menyertai dan menyelamatkan kita.
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: