Charles H. Spurgeon dalam Morning and Evening: Daily Reading menjelaskan bahwa kita telah berada dalam konflik yang keras, tetapi di atas kepala kita, Dia telah memegang tinggi-tinggi perisai pertahanan kita.
Hai, Ignite People,
Hope this article finds you well.
Disclaimer: Jujurly, aku gak tau bedanya iman, percaya, yakin. So, CMIIW, ya.
Di suatu Senin, aku pergi dinas ke Kendari. Penerbangannya sangat nyaman, smooth sekali. Aku sangat menikmati pemandangan langit di jendela pesawat. Meskipun aku kaget karena ada sedikit guncangan yang terasa ketika di toilet, aku merasa tenang. Ketenangan ini muncul begitu saja. Mungkin itu karena aku percaya pada pilot yang menerbangkan pesawat ini betul-betul baik dan berpengalaman.
Pada hari Kamisnya, aku pulang dinas dari Kendari. Namun, pada saat lepas landas, guncangan pesawat yang aku tumpangi begitu keras. Selain itu, badan aku sampai terhempas ke belakang saat pesawat itu mau terbang. Bahkan, pesawat mengeluarkan bunyi “nguuuuuuung”, hingga aku negative thingking, “apakah mesin pesawat ini rusak?”
Aku merasa ketakutan sekali. Aku mengucap nama Yesus berkali-kali, hingga mencengkeram tangan teman aku. Aku pusing sepanjang penerbangan. Aku tidak percaya dengan pilot tersebut, hingga berpikir jika pesawat ini jatuh, biarlah pesawatnya jatuh ketika aku tidur nyenyak.
Photo by Reinaldo Kevin on Unsplash
Berdasarkan pengalaman tersebut, aku menyadari satu hal bahwa kita percaya kepada sesuatu berdasarkan situasi dan kondisi yang menyamankan kita. Kita percaya pada Allah, jika kita sedang berbahagia karena jawaban doa kita dikabulkan. Namun, apakah kita masih percaya kepada Allah ketika kita seolah-olah menderita, dan merasa semuanya terasa kabur?
Di dalam ketidakpastian hidup ini, Allah beranugerah kepada kita melalui iman yang diberikan-Nya (Efesus 2:8-9), agar dapat percaya kepada Allah meski situasi tidak menyamankan kita. Penulis surat Ibrani pun menjelaskannya dalam Ibrani 11:1 (RKJNT),
"Now faith is the assurance of things hoped for; the conviction of things not seen."
Ada 2 frasa yang penting di sini yang mau aku bahas. Pertama adalah the Assurance, dan berikutnya adalah the Conviction. By the way, aku akan coba menjelaskannya dari sisi hukum, ya.
Ada Penyertaan
The Assurance berarti:
Intinya, the Assurance adalah suatu janji atau keyakinan. Kita ambil contohnya dari bank. Apa yang menjadi alasan bank untuk percaya pada debitur bahwa kredit pinjamannya akan dicicil tepat waktu? Hal yang mendasari kepercayaan bank adalah janji debitur dengan meterai 10.000, bahkan memberikan jaminan sertifikat tanah. Selain itu, adanya keyakinan bank perihal pembiayaan cicilannya ditinjau dari history atau track record debitur dalam pembiayaan tagihan, baik tagihan credit card-nya, ataupun tagihan cicilan lainnya yang tepat waktu.
Anggaplah bank adalah kita, kredit pinjaman adalah harapan kita, dan debitur adalah Allah. Lalu, apa yang mendasari kita percaya pada Allah bahwa harapan kita akan dikabulkan?
Hal yang mendasari kepercayaan kita adalah:
Photo by Miquel Parera on Unsplash
Ada Hikmat
The Conviction berarti:
Dalam sistem hukum Indonesia, the conviction itu memiliki arti putusan hakim. Putusan hakim merupakan alat untuk menentukan kesalahan seseorang. Dalam sistem hukum pidana, baik Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun Advokat sama-sama “berperang” dengan bukti. Perbedaannya ialah JPU membuktikan bahwa Terdakwa itu bersalah, sedangkan Advokat itu membuktikan bahwa Terdakwa itu tidak bersalah. Bukti-bukti yang dipergunakan dalam persidangan itu berfungsi untuk merebut keyakinan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP.
Dalam persidangan, bisa saja bukti yang disampaikan oleh JPU maupun Advokat dan Terdakwa sama-sama masuk akal. Oleh sebab itu, hakim harus memiliki hikmat dalam memutus perkara pidana. Karena, hakim tidak melihat dan tidak mengetahui kebenaran peristiwa hukum yang ada, sehingga hikmat itu diperlukan untuk menetapkan keyakinan hakim terhadap suatu kebenaran materiil dengan menilai seluruh bukti dan mempertimbangkan seluruh fakta yang ada di persidangan dalam memutus perkara.
Anggaplah JPU itu Iblis, Advokat itu Hamba Tuhan, Terdakwa itu Allah, kesalahan Terdakwa itu keberadaan Allah, dan Hakim itu adalah kita. Kalau mengingat ilustrasi sistem hukum di Indonesia tadi, Iblis dan Hamba Tuhan saling “berperang bukti” mengenai keberadaan Allah dalam pergumulan hidup kita. Semua “bukti” sangat masuk akal.
Photo by Tingey Injury Law Firm on Unsplash
Nah, agar mencegah keputusan yang salah, kita harus punya hikmat seperti hakim agar kita meyakini kebenaran Allah hadir dalam pergumulan kita, meski kita tidak melihat-Nya. Namun, realitasnya adalah selama menjalani hidup ini, kita tidak memiliki hikmat yang luas untuk percaya kepada Allah meski kita memegang janji penyertaan-Nya dan tahu bahwa Roh Kudus ada di dalam diri kita. Pertanyaannya adalah iman seperti apa yang kita (akui) miliki selama ini? Tidak heran kalau kita sering "tantrum" di hadapan Allah, karena tidak sabar dalam masa penantian dan berteriak tidak adil serta menyalahkan Allah karena rancangan kita tidak tercapai. Ini wajar. Secara rohani, kita masih anak-anak (bdk. 1 Kor. 13:11). Lalu, bagaimana?
Syukur pada Allah! Hanya karena anugerah-Nya, Dia mendewasakan kita melalui pengalaman-pengalaman hidup kita. Dari pengalaman pahit maupun manis, Roh Kudus memampukan kita untuk belajar bertumbuh di dalam iman kepada Allah. Itulah sebabnya ketika sudah mengalami pendewasaan dalam iman (percayalah, ini butuh waktu seumur hidup terus-menerus), kita dapat mengelola dan menghadapi ketidaknyamanan hidup kita dengan cara berdoa seperti ini:
Output dari kelegaan dan kekuatan Allah tersebut adalah ketenangan batin seperti “berjalan di atas air”. Maukah Ignite People, bersamaku, belajar menaruh iman pada Allah yang mengenal kita luar dan dalam?
Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke: