Dia atau "Dia"?

Best Regards, Live Through This, 27 October 2020
Tuhan memang satu, kita yang tak sama (Peri Cinta - Marcel)

Mungkin teman-teman pembaca tak asing lagi dengan lagu Peri Cintaku dari Marcel. Sebuah lagu yang mungkin sudah cukup populer di kalangan milenial khususnya, apalagi jika ada yang mengalami kisah serupa dengan latar belakang yang sama dengan lagu tersebut. Aku salah satu pendengar favorit dan menjadi salah satu orang yang merasa terwakili perasaannya dengan adanya lagu tersebut. 

Beberapa tahun lalu, aku dikejutkan dengan seorang pria yang menyatakan rasa cintanya padaku, kami pun setuju untuk berpacaran. “Cinta Monyet” - demikian beberapa orang menyebutnya, termasuk aku, yang menganggap hubungan ini hanya sebatas persahabatan dengan status khusus yaitu “pacar”. Kami saling bertukar kabar dan bertukar cerita, bahkan aku merasa semangat belajarku meningkat semenjak ada dia.

Tiga tahun menjalani hubungan tersebut, kami menjadi semakin dekat dan saling terbuka. Orang tuanya mengetahui siapa aku. Bahkan ketika bertemu di sebuah acara, dia tanpa ragu mengatakan bahwa aku adalah pacarnya. Berbeda dengan aku yang takut memberitahu orang tuaku mengenai hubungan kami. Aku takut, karena hubungan ini berlatarkan “perbedaan keyakinan”. 

Tiba di saat dia mengantarkanku pulang setelah kami jalan-jalan, selepas dia pergi, aku memberi tahu mama dan papa bahwa dia adalah pacarku. Awalnya mama bersikap wajar, namun saat papa bertanya, “Dia anak gereja mana?” Aku diam, tak bisa menjawab, sehingga papa dan mama membuat kesimpulan sendiri yang memang benar adanya. 

Tak jarang di waktu bersama keluarga, mama mengingatkanku agar tak bermain-main dengan “api”, sedangkan papa lebih memilih menggunakan kalimat “Kamu mau jual 'anugerah' yang kamu punya buat dia?”, tapi aku tetap menjalani hubungan kami. Hingga suatu ketika, aku mengikuti sebuah persekutuan yang membahas sebuah ayat Alkitab:

“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
- 2 Korintus 6:14

Tak hanya diingatkan dengan ayat itu, teman-temanku juga bahkan sering mengingatkan bahwa hubungan kami bukan sebuah hubungan yang mudah diajak ke jenjang yang lebih serius. Tapi jika dilihat dari ayat Alkitab, Yohanes 1:12 mengatakan bahwa "Tetapi semua orang yang menerima-nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya."

Aku bermimpi untuk mengajaknya menjadi “orang percaya” - tidak ada salahnya, kan? Apalagi aku sering menceritakan bagaimana kehidupan rohaniku dan caraku memelihara iman. Hingga seseorang mengatakan, “Kamu jangan egois dong untuk “menarik” dia. Kalian pasti punya jalannya sendiri-sendiri.” Sungguh, itu menjadi tamparan keras bagiku untuk kembali memikirkan hubungan yang kujalani. Entah mengapa semenjak hal itu sering dibahas, aku semakin serius memikirkannya dan aku menjadi lebih sering mendengarkan konten video dengan tema mengenai respon Tuhan terhadap hubungan yang kujalani.


Hingga di saat aku memiliki kesempatan untuk bertemu dengan dia, aku memutuskan untuk men-sharing-kan hasil pemikiranku selama ini. Aku dengan tegas mengatakan bahwa hubungan aku dan dia harus berakhir. Tidak, tidak, bukan berarti setelah hubungan ini berakhir, kami akan bermusuhan, tetapi  intinya kami tidak lagi memiliki ikatan yang khusus. Aku masih terbuka untuk mendengar ceritanya, dan aku akan berusaha untuk tidak bersikap seolah-olah menjauhi dia. 

Bagaimana dengan responsnya? Dia diam. Mungkin dia sedang mencerna apa yang kukatakan. Tapi setelah percakapan itu, hari-hari terasa cukup berbeda, misalnya dari notifikasi yang mucul di telepon genggamku yang sudah tidak ada lagi menunjukan masuknya pesan chat darinya. Hingga satu minggu setelahnya, dia mengirimkan pesan singkat padaku: “Aku senang, kamu mampu mengajarkanku arti kedewasaan.” Salah satu kutipan pesan singkat yang membuatku tertegun. 

Mungkin di satu sisi aku terkesan hanya "menyelamatkan" diriku sendiri dari sebuah jurang, namun aku harus sadar bahwa aku telah menyelamatkan dia dari suatu hal yang belum tentu dia dan keluarganya inginkan.


Aku tersadarkan juga bahwa Imanku akan lebih bertumbuh  jika aku belajar hidup taat. Taat akan firman-Nya dan nasihat orangtuaku. Berpacaran dengan lawan jenis yang “berbeda keyakinan” mungkin tidak akan membuat aku bertumbuh di dalam Tuhan; yang aku butuhkan adalah sebuah hubungan yang berjalan dengan pasangan yang bersama-sama mempraktikkan gaya hidup yang Dia perintahkan. Saling mendoakan, saling menopang, saling membangun, saling mengingatkan, saling mengalah, dan yang terpenting adalah, saling memiliki keinginan untuk mau belajar bersama agar lebih mengenal Dia.

Sepanjang waktu ini, aku bersyukur Tuhan mengizinkan aku mengalami hal tersebut, agar aku dapat mengambil pelajaran berharga mengenai betapa pentingnya seseorang tanpa harus mengutamakan kepemilikan dan menghindari diri dari sebuah keputusan yang egois. Karena sebenarnya Tuhan pasti telah menyediakan hal terbaik bagi aku dan dia.

LATEST POST

 

Bila hati terasa berat Tak seorang pun mengerti bebanku Kutanya Yesus Apa yang harus kuperbuat  ...
by Yessica Anggi | 22 Mar 2024

Entah mengapa, tapi ego itu begitu menggoda diri manusia. Ego untuk menguasai, untuk menja...
by Markus Perdata Sembiring | 19 Mar 2024

Keraguan adalah salah satu hal yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sebagai manusia. Keraguan...
by Immanuel Elson | 14 Mar 2024

Want to Submit an Article

Untuk menjadi bagian dari gerakan generasi
muda Kristen Indonesia. Kirimkan karyamu ke:

[email protected]

READ OTHER